Kisah Inspirasi - Setiap kali ada orang menanyakan namanya, dia hanya menyebut kalau namanya adalah Agus. Tidak banyak tahu siapa nama panjang dari sosok lelaki muda yang biasa mangkal di terminal bus Terboyo, Semarang ini. Sehari-hari lelaki itu duduk di emperan ruang tunggu terminal sambil menggendong sebuah tas kecil berwarna kumal. Pandangannya tertuju pada lalu lalang orang-orang yang datang silih berganti. Jika kebetulan matanya melihat seseorang, maka ia segera menghampirinya.“Semir, Pak”, tawarnya. Lelaki muda itu memang seorang penyemir sepatu.
Pekerjaan menjadi tukang semi sepatu sudah digelutinya sejak ia masih kelas empat SD. Kita dapat menebak dari kelas ekonomi mana anak muda itu berasal. Tidak ada beban yang mengganjal dalam raut wajah anak muda itu. Ia seperti menikmati betul pekerjaannya. Pekerjaan yang barangkali telah banyak membantu dirinya memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tetapi, Agus bukan sekedar penyemir biasa. Menjadi tukang semir sepatu hanyalah pilihan pekerjaan secara sadar dia ambil di tengah ketatnya persaingan mendapatkan kerja. Lelaki muda itu masih tercatat sebagai seorang pelajar di kota kelahirannya. Tepatnya ia adalah seorang pelajar dan penyemir sepatu.
Lelaki itu menjalankan pekerjaan sehabis pulang sekolah. Kalau hari libur, ia biasa bekerja sejak pagi hari hingga petang tiba. Begitu pula jika sekolahnya pulang pagi, entah karena gurunya sedang rapat dan lain sebagainya, ia biasanya akan langsung menyambar peralatan semirnya dan segera berangkat menuju terminal. Di terminal itulah, Agus menawarkan jasa dan keterampilannya. Keterampilannya menyemir sepatu. Ia mungkin tidak pernah menyangka bahwa bekerja sebagai tukang semir hanya dihargai lima ratus rupiah untuk sepasang sepatu, ternyata hal itu mampu membiayai sekolahnya hingga ia tamat SMA. Menurutnya, sejak ia masuk SMP, dirinya sudah tidak pernah meminta uang pada orang tuanya untuk membiayai semua keperluan sekolahnya. “Semuanya bisa tercukupi dari hasil menyemir”, kenangnya.
Membaca kisah lelaki itu, kita seperti berada dalam situasi antara percata dan tidak percaya. Bagaimana mungkin tukan semir sepatu mampu membiayai semua biaya sekolahnya pdahal biaya sekolah amat begitu mahal, terutama untuk orang-orang sekelas Agus. Namun, rezeki Allah memang tidak bisa diukur. Allah sanggup member rezeki sebanyak mungkin kepada manusia, betapapun ia hanyalah seorang tukang semir sepatu. Namun, bukan tanpa dasar apa-apa jika Agus mampu mencukupi keperluan sekolahnya hanya dengan menjadi tukang semir sepatu. Ada dua hal yang dia lakukan untuk membuktikan bahwa dengan menjadi tukang semir ternyata dia mampu membiayai kebutuhan sekolahnya. Dalam hal itu adalah kejujuran dan ketekunan dalam melaksanakan sholat Dhuha.
Setiap hari disekolahnya, Agus membiasakan diri melakukan shalat Dhuha setelah bel istirahat berbunyi. Tidak muluk-muluk apa yang dia minta dalam doa-doanya. Ia hanya memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjalankan pekerjaannya meski hanya sebagai tukang semir. Begitulah yang dilakukan oleh lelaki itu. “Saya tertarik mengamalkan shalat Dhuha setelah diberitahu tentang keutamaan shalat itu oleh guru agama saya di sekolah”, papar lelaki itu sembari tersenyum.
Selain shalat Dhuha, kejujuran tampaknya merupakan sebuah sikap yang dipegang betul oleh Agus. Pernah suatu ketika seorang laki-laki menyodorkan uang dua puluh ribuan untuk membayar jasanya, padahal tidak ada uang sama sekali di dalam sakunya sebagai kembalian. Ia pamit untuk menukarkan uang itu. Di tengah perjalanan, terlintas dalam pemikirannya untuk membawa kabur uang itu sebagaimana yang biasa dilakukan oleh teman-teman lainnya yang biasa melakukan praktik curang. Apalagi sudah hampir setengah jam dia belum berhasil menukarkan uang itu.
Setiap warung yang ada disekitar terminal ia datangi. Dan, hampir satu jam kemudian dia baru berhasil menukarkan uang itu dan segera kembali pada orang yang sudah menyemirkan sepatunya. “Bapak itu juga sudah menyangka kalau uangnya saya bawa kabur. Tetapi, setelah tahu saya datang kembali, dia akhirnya meminta maaf karena telah berburuk sangka pada saya. Dan, setelah itu saya kembalikan sisa uangnya, bapak itu malah tidak mau menerimanya. Sisa uang itu semuanya diberikan kepada saya. Dan sejak saat itu, saya yakin bahwa dengan shalat Dhuha dan berbuat jujur, Allah akan memudahkan rezeki-Nya”. Kata Agus dengan bangga.
Saat ini Agus sudah tidak menyemir sepatu lagi. Tetapi, shalat Dhuha dan berbuat jujur tetap ia jalankan sehari-hari. Maka tidak heran, jika dari menjadi tukang semir sepatu sekarang ia malah memiliki toko sepatu. Itulah salah satu bukti keajaiban shalat Dhuha dan berbuat jujur yang berkahnya dirasakan betul oleh Agus.
Kisah Penyemir Sepatu Yang Membiayai Sekolahnya
Reviewed by Raizal
on
Juli 13, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: